Senin, 01 Juni 2009

TIPS



Bagaimana cara berbohong yang baik????





    oleh: Zubai



Pada tanggal 13 Mei 2009 saya mengadakan survey kecil-kecilan kepada 25 remaja berumur 18-19 tahun tentang bagaimana cara berbohong yang baik agar tidak diketahui oleh lawan bicara kita.

Berikut adalah respon jawaban dari mereka.

  • Tidak tau!

  • Tidak bisa bohong karena saya selalu ketahuan kalo lagi bohong.

  • Tidak tau karena menurut pengalaman kebohongan itu pasti terungkap walaupun itu baik atau ‘ga

  • Tidak tau karena saya tidak bisa berbohong. J

  • Menjaga tampang supaya tetap tenang ‘n tetap manis, atur kata supaya jangan sampai salah bicara. Intinya “stay cool ‘n cute”.

  • Jangan bilang kalo kita lagi bohong

  • Aku ga suka bohong, tanya sama yang lain aja. Maaf ya.

  • Bohong??! Wong selalu keduluan orang bohongin saya.

  • Gunakan paancingan yang sudah diberi umpan yang sesuai.(Maksudnya??!!??)

  • Tergantung! Bohongnya kepada orang yang statusnya apa kepada kita, laki-laki atau perempuan, ‘n bohongnya tentang apa.

  • Kalau memang punya bakat pembohong ‘n pas ngomongnya jangan sambil ketawa.

  • Tetap berbicara dengan netral, supaya ‘ga ketahuan.

  • Menjawab pertanyaan orang itu jangan spesifik. Emang tetap tentang apa yang ditanyakan tapi arahkan ke topik yang lebih umum. Jangan ragu-ragu, konsisten dengan apa yang dikatakan.

  • Pasang tampang tak berdosa. Berbohonglah dengan sepenuh hati ‘n segenap jiwa, tanpa ada sedikitpun kejujuran. Dengan begitu kita akan merasakan betapa indahnya kebohongn itu.

  • 2 orang menjawab “Bohong itu kan ga boleh!!”

  • Kalo bohong untuk kebaikan, usahakan untuk tidak gugup.

  • Mending ngomong yang pasti-pasti aja.

  • Tergantung niat, hanya yang berbohong ‘n Tuhan yang tau.

  • Ga usah bohong, jadi ga ketahuan kalo lagi bohong.

  • Ga bisa! Walau berbohong bagaimanapun tetap ALLAH MAHA TAHU!! Walau sedang berbohong, secara non-verbal diri sendiri akan berkata jujur..

  • Sisanya tidak menjawab.

OSPEK

ORIENTASI STUDI DAN PENGENALAN KAMPUS (OSPEK)

Ospek telah menjadi suatu tradisi yang melembaga sejak dahulu pada institusi pendidikan di Indonesia seperti SMA dan Perguruan Tinggi terutama pada masa penerimaaan pelajar / mahasiswa baru. Pada dasarnya kegiatan ospek memiliki tujuan mulia untuk mempersiapkan pelajar/ mahasiswa baru untuk memasuki lingkungan pendidikan yang baru dengan serangkaian acara ceramah, tugas-tugas aneh, tetek bengek atribut-atribut, segudang sanksi hukuman yang dipadatkan dalam beberapa hari.
Sejak tahun 1995-an kasus ospek mulai muncul di media publik seiring dengan banyaknya korban yang terus berjatuhan. Lalu ospek pun berganti-ganti baju untuk memperhalus dan memulihkan citranya sebagai ajang penggojlokan.
Sudah banyak tulisan di media massa yang membahas keburukan ospek, Berikut ini 10 alasan mengapa ospek harus dihapuskan dari sistem pendidikan di Indonesia:
1. Ospek hanya melestarikan budaya feodal dengan mewajibkan para peserta untuk menghormati paksa senior dan menuruti segala kehendak senior. Hanya terkesan memuaskan para senior yang ‘sok gila kekuasaan’ dan menganggap rendah status mahasiswa baru tak lebih sebagai budaknya.
2. Pelaksanaan ospek yang selama ini bermaksud menanamkan kedisiplinan dengan hukuman dan bentakan hanyalah sebuah bentuk militerisasi dalam kampus. Ini adalah bentuk kemunafikan mahasiswa yang katanya anti militerisme dalam kampus tetapi malah melestarikan militerisme dari waktu ke waktu.
3. Penanaman nilai-nilai baru dalam waktu yng singkat dan dalam tekanan adalah sangat tidak efektif ditinjau dari faktor psikologi. Mahasiswa yang tidak tidur ataupun kelelahan karena mengerjakan setumpuk tugas tidak memiliki kesiapan maksimal untuk menerima informasi baru.
4. Pembuatan aneka atribut yang aneh-aneh merupakan suatu pemborosan uang dan waktu semata, tak sebanding dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam serangkaian aneka atribut tersebut.
5. Thorndike, seorang ahli psikologi pembelajaran menyatakan bahwa hukuman tidak efektif untuk meniadakan suatu perilaku tertentu. Begitu halnya dengan dan sanksi pada ospek tidak akan efektif membuat seorang mahasiswa untuk menghilangkan perilaku-perilaku buruknya.
6. Kekuasaan sangat dekat dengan kekerasan, maka tak heran jika panitia yang memiliki wewenang dan derajat lebih tinggi dari mahasiswa baru akan melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis pada mahasiswa baru.
7. Tak dapat dipungkiri bahwa tarkadang ospek merupakan sarana balas dendam bagi senior atas perlakuan kakak kelas yang mereka alami pada waktu dulu. Rasa dendam akan selalu muncul dalam segala perlakuan yang menyakitkan, namun berhubung ospek adalah sesuatu yang dilegalkan sehingga kesempatan membalas hanya mungkin dilakukan pada ospek tahun berikutnya.
8. Ospek memang terbukti mengakrabkan para mahasiswa, namun proses keakraban pada mahasiswa akan terjadi dengan sendirinya ketika mahasiswa mulai beraktivitas dalam kampus tanpa perlu dipaksakan dalam suatu penderitaan.
9. Setiap orang memiliki kerentanan psikologis yang berbeda-beda, sehingga hukuman yang serampangan ataupun perlakuan yang menekan mental pada ospek dapat menimbulkan suatu trauma psikologis tersendiri bagi beberapa orang. Trauma ini pada akhirnya akan menimbulkan abnormalitas kejiwaan seseorang.
10. Kenangan dalam ospek hanya menciptakan romantisme tertentu ketika diceritakan beberapa waktu setelah ospek, namun tentunya setiap orang tidak ingin mengalami ospek untuk beberapa kali lagi. Ini merupakan bukti bahwa setiap orang tidak menginginkan OSPEK terjadi lagi dalam hidup mereka.

Alasan diatas sudah cukup untuk menghapuskan ospek dari sistem pendidikan di negara kita.
Ospek jaman dulu atau kegiatan yang menggunakan kedisiplinan semi-militer baik mental maupun fisik lebih diterapkan pada organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti pecinta alam, Pramuka, dan MENWA bukan pada lembaga pendidikan umum seperti sekolah dan Perguruan Tinggi.
Dalam kasus-kasus ospek belakangan ini, apa yang selalu dilakukan tercatat sebagai cara post factum, setelah kejadian. Ciri khasnya reaktif. Akibatnya ekses ospek berulang terus, korban tewas dan luka atau trauma sepanjang hidup, dari tahun ke tahun.
Memang, tewasnya Wahyu Hidayat di Bandung, tawuran antarmahasiswa satu kampus di Jakarta dua peristiwa terakhir belakangan ini ditangani dengan cepat. Sejumlah mahasiswa menjadi tersangka. Ada wacana yang riuh, mencela pelaksanaan ospek, sebaliknya memuji maksud luhur ospek. Kekerasan yang terjadi dianggap hanya ekses atau penyimpangan.
Jalan keluar diusulkan agar ospek ditangani lebih terawasi, dicegah agar jangan sampai timbul korban. Lantas timbul kebijakan “memadamkan api”: misalnya menggabungkan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Bandung dan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta. Gagasan itu “kreatif”, tetapi tak terbayangkan dampak dan rencana konkret pelaksanaannya. Gagasan “kreatif” semacam itu tidak hanya terjadi di lingkungan Depdagri yang menangani sekolah kedinasan, tetapi juga kalangan depdiknas.
Cara berpikir demikian perlu didekonstruksi. Caranya melihat secara jernih bagaimana ospek dipraktikkan dari masa ke masa; bagaimana ospek berubah arah menjadi ajang perpeloncoan dan penggojlokan, bahkan semimiliteristik. Benarkah ospek hanya “baju baru” dari nama masa prabakti mahasiswa (mapram) atau orientasi studi (OS), atau masa perkenalan mahasiswa (maperma)?
Selama ini, dalam kasus ospek atau apapun namanya, apa yang dilakukan tak lebih dari “memadamkan api”. Orang bereaksi cepat bahwa korban tewas atau terluka dianggap hanya ekses. Apa yang terjadi tak pernah dipakai sebagai titik berpijak untuk kebijakan baru. Sebenar-benarnya itulah proses pembodohan; sesuatu yang bertentangan dengan jati diri praksis (praktik dan refleksi) kegiatan pendidikan.
Dalam konteks itu perlu pula dikaji, benarkah maksud baik ospek sebagai pembinaan mental dipraktikkan sebagai penyiksaan? Apakah penyiksaan hanya ekses atau memang ospek sejak awalnya adalah reperkusi proyeksi impulsi-impulsi kekerasan? Asumsi demikian masuk akal sebab sejak dari dulu sampai sekarang masalah ospek selalu ditempatkan sebagai keharusan mahasiswa baru dan direaksi secara rektif setelah jatuhnya korban (post factum)!
Pada awalnya, ospek dianggap sebagai proses inisiasi mahasiswa baru. Intinya memperkenalkan sistem pendidikan tinggi, cara belajar mandiri, dan suasana kampus baru. Mahasiswa diperkenalkan dengan rule of conduct rumah yang baru. Setiap pergururan tinggi memiliki ciri khas masing-masing yang harus diketahui setiap mahsiswa.
Sejauh sampai ditataran normatif, jarang ada ekses di tingkat universitas. Ospek sering berekses negatif ketika dilakukan ditingkat fakultas atau jurusan. Ada fakultas atau jurusan yang merasa punya hak untuk menuntut mahasiswa baru memiliki mental psikis dan fisik lebih kuat dibanding fakultas atau jurusan lain.
Terjadilah persaingan. Dan itulah yang terjadi kemudian: ekses-ekses negatif terjadi pada tingkat ini, dari tahun ke tahun dan selalu jatuh korban pada awal tahun kuliah baru, Agustus-Oktober.
Selama ini ada anggapan mahasiswa baru harus dipelonco. Mereka dianggap tidak tahu apa-apa, jadi bisa diperlakukan. Yang memelonco-mahasiswa senior memiliki latar belakang dan motivasi sendiri-sendiri. Mereka memperlakukan mahasiswa baru dengan permintaan yang aneh-aneh. Semakin bisa memberi perintah aeng-aeng, yang bersangkutan dianggap semakin kreatif.
Berlakulah dalil ahli politik Inggris Lord Acton, kekuasaan cenderung koruptif. Jatuhlah korban tewas atau luka, atau trauma berkepanjangan. Yang terjadi proses ini berdaur ulang. Mahasiswa baru kelak menjadi mahasiswa senior dan bisa “membalas dendam” perlakuan senior mereka terhadap mahasiswa baru pada awal tahun kuliah berikutnya.
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia pada tahun 1960-an, kegiatan “perpeloncoan” ini disebut mapram. Korban yang jatuh cukup banyak. Sebagai reaksi, muncul SK menteri P dan K tahun 1971 yang isinya menghapus maperma diantaranya nama mapram diganti dengan pekan orientasi studi (POS). Meski pun demikian, kekerasan tetap terjadi. POS diganti OS, dan yang terakhir sejak tahun 1990-an ada nama baru ospek sampai sekarang.
Ospek dengan semngat perpeloncoan untuk lingkp Depdiknas sudah dihapus dengan Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 5 Tahun 1995. Surat tersebut juga mengharuskan ospek dilakukan dengan lebih lunak dan dikooradinasi dibawah Purek III ditingkat Universitas dan pembantu Dekan (Pudek) III di tingkat fakultas/ jurusan. Semangatnya memperkenalkan mahasiswa baru tentang rule of conduct rumah baru.
Akan tetapi, praktiknya sampai sekarang, apalagi dalam era “pembiaran” sekarang, jarang terjadi ekses ditingkat Universitas.
Ekses umumnya terjadi di tingkat fakultas/ jurusan. Bahkan ada pimpinan fakultas tak mau tahu soal kegiatan ospek di tingkat fakultas. Sebagai contoh, mahasiswa senior yang memelonco mahasiswa baru dikenai sanksi bolos kuliah. Ketika tidak ada ekses, praktik semacam itu mulus-mulus saja, tetapi tidak ada ekses barulah ada keributan, apalagi diramalkan dalam media. Lagi-lagi, post factum menjadi cara berpikir dan cara menangani soal ospek.
Ekses ospek tidak pernah menjadi pertimbangan kebijakan terkecuali riuh dibicarakan. Faktor pengawasan dijadikan salah satu penyebab, tetapi sepanjang sejarah masalah penyebab itu tak pernah ditangani. Tidak diizinkannya mahasiswa senior memelonco mahasiswa baru ditingkat fakultas, bisa ditafsirkan tidak setuju adanya ospek di tingkat fakultas. Sebaliknya, kebijakan itu pun bukti bahwa pimpinan universitas tidak mau bertanggung jawab.
Padahal, kalau ekses ospek dilihat lebih jauh, akar persoalannya terletak pada realitas praktik kekerasan sebagai realitas keseharian. Kekerasan dalam tataran yang bersifat ideologis sampai yang sangat pragmatis sudah terjadi sehari-hari. Secara tidak sadar, kekerasan yang disebut ekspresi dorongan manusia primitif menyatu dengan keseharian masyarakat Indonesia. Dalam posisi apa pun, kekerasan seolah-olah menjadi pilihan pertama, yan terkait langsung dengan kekuasaan dan nafsu berkuasa.
Banyak teori kekerasan disampaikan para ahli, Tetapi adalah Max Weber yang menyatakan adanya hubungan dekat antara kekuasaan dan kekerasan. Kekerasan dipakai sebagai cara manusia melaksanakan dan memperbesar kekuasaan.
Kalau dalil itu diterapkan dalam kasus ospek, terlihat bagaimana mahasiswa senior memaksakan impulsi-impulsi primitif. Dengan ditaatinya permintaan yang aeng-aeng, mereka merasa berkuasa. Dalam konteks ini benar kata Acton, orang berkuasa cenderung koruptif, selalu kurang terus.
Dalam membina sikap disiplin, salah satu tujuan ospek, serta merta diterapkan disiplin ala militer. Entah disebabkan sebagian di antara mahasiswa senior adalah anggota Menwa-sekarang sudah ditiadakan-juga anggapan disiplin semacam itu satu-satunya bentuk disiplin. Padahal berbeda jauh antara disiplin mati dan disiplin yang diterapkan secara kreatif. Yang terjadi bertahun-tahun, Bahkan eksesnya masih terlihat sekarang, ospek pun berwajah semimiliteristik. Disiplin mahasisiwa berbeda dengan disiplin mati tentara.
Masahasiswa adalah kelompok masyarakat dengan ciri utama bernalar, berbeda dengan kelompok-kelompok warga masyarakat lain. Yang diandalkan adalah akal akal (nalar) dan bukan otot, yang berbeda dengan disiplin mati yang menafikan kelenturan menerima argumentasi dan alternatif.
Cara-cara semimiliteristik dan pelecehan hak asasi selama ospek mungkin saja membekas sebagai pengalaman romantis. Banayak juga yang kemudian merindukan masa-masa ospek sebagai kenangan mengasyikkan. Tetapi, sesuai dengan jiwa dasar pendidikan yang menafikan cara-cara kekerasan, perlu dikaji ulang, benarkah ospek lebih besar manfaat daripada mudaratnya.
Sepanjang sejarah, meskipun dari tahun ke tahun selalu terjadi ekses, ospek tak pernah disinggung sama sekali dalam peraturan dan perundangan kependidikan. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi tak satu kalipun memuat kata ospek mahasiswa baru. Artinya, ospek memang tidak menjadi bagian strategis penting proses pendidikan. Aturan-aturan yang mengikatnya hanya setingkat surat edaran atau surat keputusan menteri.
Anehnya aturan-aturan berdasar surat edaran atau ketetapan itu gampang dilanggar, menunjukkan yang terpenting dalam ospek seharusnya inisiasi mahasiswa ke dalam rumah baru.
Jalan keluar yang ditawarkan, tanpa mengurangi maksud baik proses inisiasi, ospek harus dikembalikan pada roh praksis pendidikan, yakni perguruan tinggi sebagai kelompok masyarakat ilmiah. Apalagi barangkali Indonesia adalah satu-satunya negara yang memberlakukan ospek dengan sifat semimiliteristik sebagai bagian dari proses inisiasi mahasiswa baru. Ada satu masa, kegiatan semacam ospek pun pernah diberlakukan untuk jenjang pendidikan menengah.
Adapun dari kubu pendukung yang mengatakan ospek itu bagus dan penting karena beberapa alasan berikut ini:
1. Mewujudkan kekompakan di antara mahasiswa baru.
2. Meninggalkan sifat individualisme dalam diri peserta.
3. Menjadikan peserta seseorang yang tangguh, mampu berpikir jernih dalam situasi sulit (never crack under pressure).
4. Mampu me-manage emosinya seperti perasaan marah dan takut.
5. Mendapatkan informasi yang penting, misal tahu tempat beli kertas, kabel, fotokopi, dan makanan di malam hari.
6. Menjadikan disiplin.
Mempertimbangkan faktor-faktor positifnya, ospek perlu dipertahankan dengan beberapa syarat pertama, lebih dikembangkan semangat memperkenalkan dunia kampus berikut rule of conduct masing-masing. Kedua, jauhkan ospek sebagai ajang ekspresi impulsi-impulsi kekerasan. Ketiga, agar syarat pertama dan kedua terselenggara, mestilah rektor berikut perangkat dibawahnya bertanggung jawab dan mengoordinasi langsung ospek di kampus masing-masing.
Di sini kami tambahkan beberapa alasan kenapa ospek “pembodohan” harus ditinggalkan dari sistem pendidikan di indonesia.
• Tugas/ prakarya/ kegiatan yang tidak sesuai dengan program studi, jurusan, minat, serta tidak memunculkan kreativitas. Khususnya tugas atribut ‘prakarya’, cocard, topi, tas, dsb. Tugas-tugas berlebihan juga tidak baik. Alhasil, biasanya malah akan mendzalimi fisik, diri, bahkan saudara, orangtua, bisa ikut terdzalimi secara tidak langsung. Kecelakaan, jatuh sakit, apakah bisa melanjutkan ospek?
• Pemborosan uang
Biaya masuk kuliah saja mahal, ditambah dengan biaya untuk ospek ini. Bahan-bahan atribut, dsb. Bila dihitung-hitung, nominalnya bisa sampai puluhan juta rupiah. Dan itu semua akhirnya hanya menjadi sampah!
• Adanya tekanan, ancaman, baik secara mental maupun fisik (kontak fisik, kekerasan, feodal, militer, tidak manusiawi) serta cemohan jikalau tidak ikut ospek. Pernyataan-pernyataan seperti: bila tidak ikut ospek, tidak bisa lulus kuliah, tidak bisa ikut organisasi/kepanitiaan tertentu, tidak bisa mendapat beasiswa, dsb sungguh menyesatkan dan merupakan unsur pembodohan juga. Saya masih ingat jargon sebuah BEM: “tidak pernah ada kasus tidak bisa kuliah gara-gara biaya”, lalu, apakah gara-gara tidak ikut ospek saja, kita tidak bisa ikut kuliah? Kalau ospek wajib, kenapa harus ada pendaftaran? Toh data-data bisa diambil dari data fakultas/universitas.
• Adanya unsur skenario. Skenario, alur, dsb memang bisa memacu orang (peserta) agar lebih mudah paham materi, dipengaruhi, dsb. Tapi skenario juga tidak bagus, karena kemudian yang ada adalah sikap dan tindakan yang dibuat-buat oleh panitia sendiri. Kepalsuan. Parahnya, misalnya terkait tugas, tugas yang sudah baik (perfect, bahkan panitia sendiri tidak bisa membuat sebaik itu), disuruh mengulang terus-menerus, tidak ada reward maupun punishment. Jadi jangan salahkan kalau ternyata peserta ospek misalnya juga hanya berpura-pura, bohong, melakukan skenario sendiri, dsb.
• Tidak ada keterlibatan langsung pihak fakultas/universitas dalam hal pengawasan. Selama ini nampaknya banyak terjadi ospek pembodohan karena tidak ada peran aktif pihak dekan, fakultas, universitas dalam hal pengawasan ospek. Mereka hanya diminta mengisi sesi materi saja. Tapi di luar itu, mereka tidak tahu apa-apa yang dirasakan peserta ospek.
• Ditambah pada 29 Agutus 2008: Adanya ‘pembenaran’ mengenai ospek tersebut. Dikatakan bahwa ospek tersebut memiliki banyak esensi, manfaat, dsb untuk masa depan di lingkungan yang baru. Memang setiap hal yang dilakukan pasti ada esensinya. Ospek sampai mengakibatkan sakit, kecelakaan, bahkan kematian sekalipun, pasti akan ada esensinya! ‘Esensi’ bisa dicari-cari oleh panitia untuk dijadikan pembenaran.

Ospek dikenal cenderung menjadi ajang perpeloncoan beraroma kekerasan dari senior terhadap juniornya. Tahun demi tahun korban ospek terus berjatuhan, dan kini dunia pendidikan kembali dikejutkan oleh kasus meninggalnya Dwiyanto Wisnu Nugroho, mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tengah mengikuti ospek untuk menjadi anggota baru Ikatan Mahasiswa Geoedesi ITB.
Kematian mahasiswa teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dwiyanto Wisnu Nugroho dalam kegiatan ospek yang diselenggarakan didaerah gunung batu, Desa Pager Wangi, Lembang, Bandung, Jawa Barat kembali menambah daftar negatif kegiatan satu itu.
Kendati sudah dilarang secara resmi melalui surat keputusan Mendikbud Tahun 1997 lalu kegiatan ospek secara praktis belum benar-benar hilang dikalangan kampus. Apalagi dalam kasus Dwiyanto dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit Borneos, Bandung pada Minggu (8/2/09) dinihari lalu, yang diduga kelelahan saat mengikuti ospek pihak Rektorat ITB menganggap kegiatan itu ilegal.
Sebab ITB sendiri tidak mengetahui kegiatan itu dan berjanji akan menyusut sekaligus memberikan sanksi terhadap mahasiswa, yang bertanggung jawab dalam sebuah sidang Komisi Disiplin.
Masih segar dalam ingatan terakhir, terkait aksi kekerasan senior Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan juga telah membuat siswa junior Cliff Muntu dan Wahyu Hidayat menjadi korban.
Kegiatan ospek yang sesungguhnya kegiatan positif untuk lebih mengenal kampus dalam mengakrabkan para mahasiswa dalam prakteknya kebablasan menjadi bentuk arogansi para senior. Tentu ini patut menjadi perhatian semua agar kekerasan di kampus tidak terus membudaya. (Cecep Hendro/Dv).
Seorang Mahasiswa angkatan 2003 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI) pertengahan Agustus lalu sempat bersorak waktu diumumkan, “tahun ini tidak ada ospek’. Namun, sorakan itu harus ditelan masuk ke tenggorokan lagi saat dipanggil senior fakultas untuk “brieffing”. Antara pasrah dan mangkel, ia pun mencatat tugas membawa makan siang berupa nasi yang telah teroksidasi, telur dadar berbentuk benzena, dan tempe berbentuk ‘03
Bahwa salah satu tujuan orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) untuk mengenal program studinya, sering dikemukakan para mahasiswa senior. Tidak heran kalau tugas seperti “telur dadar benzena” bisa muncul dengan embel-embel “untuk mengenal fakultas dan jurusan”.
Dirunut ke ospek-ospek sebelumnya, unsur-unsur ngerjain lebih dominan dari segala macam konsep yang katanya ada itu. Misalnya, mahasiswa baru disuruh makan ini dingin dengan mata tertutup setelah mencari cacing tanah. Ada juga mahasiswa baru yang disuruh berulang kali mengukur jalan sepanjang puluhan meter dengan jengkal tangan hanya karena senior menyatakan hasil pengukurannya belum tepat.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UI Achmad Nur Hidayat mengatakan, memang ada karakteristik ospek tiap universitas. Bahkan ada perbedaan karakteristik ospek fakultas sehinga tidak heran kalau ospek di Fakultas Teknik berbeda dengan ospek di fakultas lain.
Hal itu dibenarkan Andika Rizki, Presiden Mahasiswa Masyarakat Mahasiswa Trisakti . Menurut Andika, di Trisakti ospek di Fakultas teknik relatif lebih berat karena diasumsikan akan banyak kerja di luar kantor. Sementara ospek di fakultas seni rupa dan Desain memiliki kekhasan tersendiri. Andika yang mahasiswa teknik perminyakan angkatan 1998 ini bercerita bagaimana ketika ia menjadi mahasiswa baru boro-boro diizinkan menggunakan lift. “Naik tanga juga harus jalan jongkok, padahal bisa lebih dari lima tingkat”, katanya.
Di Institut Teknologi Bandung (ITB), ospek himpunan sering menjadi momok bagi mahasiswa baru. Cerita-cerita seram beredar dikalangan mahasiswa baru. Mulai dari di injak-injak senior beramai-ramai sampai long march di gunung dalam keadaan kurang makan, kurang minum,dan tidur pun diatas pohon, sehingga tidak jarang si mahasiswa baru berjalan dalam kondisi setengah tidur dan minum air apa saja yang ada, termasuk air bak atau sungai.
“Sekarang, beangsur-angsur kita kurangi hal-hal seperti itu di OS himpunan”, kata wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB Adang Suraman.
Sebagai salah satu strategi adalah dengan merangkul mahasiswa untuk menjadi panitia di OSKM ITB. Dalam OSKM yang diikuti mahasiswa baru berbagai jurusan ini, pihak rektorat dapat lebih mengontrol pelaksanaan. OSKM memang relatif ringan dan, menurut Adnag, perlahan-lahan akan lebih ditekankan pada orientasi akademik, seperti pengenalan kampus atau akademik. Walau demikian, dalam praktiknya, teriakan para “swasta”-mahasiswa senior nonpanitia-dari tepuk tangan berakhirnya OSKM, bisa bikin ketar-ketir juga. “Sampai ketemu swasta di OS himpunan”, diiringi tertawa berderai-derai.
Psikolog Sartono Mukadis (58) mengenang ospek pada masanya sekitar 35 tahun lalu sebagai sesuatu yang seru dan lucu. Bertemu mahasiswi yang kemudian menjadi istrinya di ospek, Sartono sempat dijuluki raka terlucu di Universitas Indonesia pada masanya. Ia menganggap, perlu dicari bentuk alternatif dari bentuk ospek yang semakin lama semakin “sakit”saja.
Menurut dia, ospek saat ini menjadi cermin sakitnya masyarakat yang kebutuhannya akan kekuasaan sangat besar. Kekuasaan itu seberapa pun kecilnya digunakan untuk memanipulasi orang lain, sebagaimana yang terjadi dalam ospek yang dilakukan mahasiswa saat ini. Mahasiswa menjadi bagian dari sistem yang kini memupuk sikap mental yang memanfaatkan kekuasaan untuk korup.
Mahasiswa yang diharapkan muncul sebagai pendobrak tradisi buruk memang berubah. Namun, perubahan yang terjadi pada generasi muda dinilai Sartono mengalami paradoks. Ia mencontohkan bagaimana anak baru gede (ABG) sudah berani pacaran kelewatan batas, namun pada saat yang sama masih bergantung sepenuhnya kepada orangtua secara ekonomi.
Bahwa dibutuhkan sebuah tradisi atau pintu masuk bagi mahasiswa baru, Sartono mengakuinya “Memang susah, kalau semuanya itu orientasi akademis,bisa jadi kuper atau culun”, katanya.
Sartono menilai, idealnya tradisi ospek yang baru seharusnya diarahkan pada pembentukan mental high achiever. “sikap mental dimana orang sudah jatuh, ingin bangkit lagi atau memperbaiki diri, seperti orang Jepang yang walau sudah buat kereta cepat, maunya bikin yang lebih cepat lagi”, katanya.
Di University of California, Los Angeles (UCLA) sudah sejak tahun 1950-an tidak ada lagi masa orienasi yang diwarnai perpeloncoan, Menurut Roxanne Neal, Direktur program Orientasi UCLA, saat ini tidak ada lagi tindakan-tidakan senior dalam program orientasi yang menindas anak baru dengan mengatasnamakan tradisi. Seandainya ada oknum mahasiswa yang melakukannya, maka tindakan ini dianggap pelecehan dan sudah pasti akan mendapat sanksi baik dari pihak fakultas maupun kepolisian.
Roxanne, yang sudah 14 tahun menangani program orientasi ini, mengatakan satu-satunya tradisi yang diturunkan dalam masa orientasi adalah yel-yel yang disebut “8-tepukan”. Yel-yel sebagai sarana unjuk gigi sekaligus menjaga semangat ini biasa ditampilkan dalam acara-acara olahraga seperti football dan basket.
Adapun program orientasi untuk mahasiswa baru S1 di UCLA diisi dengan kegiatan akademik, seperti presentasi singkat dekan fakultas tentang integritas akademik UCLA hingga tur keliling kampus dan orientasi tentang beasiswa, parkir, dan perumahan.
Sementara itu, Ayu, yang sempat kuliah di Belanda, mengatakan, ospek diadakan oleh perkumpulan mahasiswa atau student verenigning, bukan unIversitas. Ayu yang ikut sorority sempat mengalami orientasi selama dua minggu, seminggu diantaranya kerja di hutan sebagai ritual masuk ke sorority.
Selama masa orientasi yang disebut Eureka Week itu, mahasiswa baru yang namanya diganti dengan angka selama seminggu kerja di hutan, tanpa mandi, tanpa tahu waktu, tanpa snack dan rokok. Untuk itu orientasi universitas yang ada hanya kuliah umum serta jalan-jalan keliling kota dan kampus.
Bukannya maju, Sartono menilai Indonesia kini memasuki “tahap kampungan”. “Kita tuh norak”, katanya. Hal ini pun masuk ke dalam ritual ospek, terutama mahasiswa melenggangkan simbol-simbol militeristik, seperti baris-berbaris dan penyiksaan fisik. Menganalisis hal tersebut, dia mengatakan, hal itu adalah gejala dimana bangsa ini mendewakan simbol-simbol kekerasan bahkan cenderung mencari tokoh-tokoh yang bisa mengangkangi diri kita.
Oleh karena itu, menurut Sartono, omong kosong kalau disiplin ditanamkan dengan metode seperti ospek. “Disiplin itu pilihan, bukan militeristik”, kata pakar sumber daya manusia itu.
Masalahnya, karena sulitnya mengontrol petilaku senior yang cenderung “menguasai” yuniornya, Sartono menyarankan ospek dihapus saja. “setidaknya saat ini, sampai ditemukan bentuk interaksi dan orientasi yang ekses buruknya lebih sedikit”, katanya.
Penghapusan ospek itu terpaksa dihapuskan sampai ditemukan bentuk pendewasaan atau pengakraban mahasiswa. Apalagi dalam kondisi saat ini dimana terjadi penumpulan kepekaan sosial mahasiswa. “Misalnya, diadakan lomba pikiran yang mendahului zaman, dimana pikiran dibiarkan bertualang liar untuk apapun di zaman mendatang”, kata Sartono.
Di kalangan mahasiswa sendiri terjadi evolusi pelaksanaan ospek. Di ITB mahasiswa baru bahkan bisa saling ber-SMS disela-sela OSKM. Di Trisakti, Andika Rizki mengatakan, Tragedi Trisakti Mei 1998menjadi latar belakang spirit ospek di Trisakti. “HAM itu harus direbut, itu yang diantaranya ingin kami sampaikan ke mahasiswa”, katanya.
Hal itu, menurut Andika, disampaikan lewat berbagai simulasi yang diakuinya tidak jarang diwarnai bentakan dari para senior juga. Namun, menurut dia, kalaupun ada mahasiswa yang mempertanyakan seniornya sebagai pihak yang menindas HAM mahasiswa baru, padahal menyatakan dirinya memperjuangkan HAM, bagi Andika hal itu justru positif. “Ya, itu, kita tantang argumennya, dari sana anak baru tahu bahwa HAM harus direbut”, katanya.
Wakil Rektor III Trisakti Komang Suka’arsana, yang membidangi kemahasiswaan, mengakui, masih ada ketidaksesuaian antara kebijakan rektorat dan keinginan organisasi kemahasiswaan.
Komang mengatakan, secara formal Trisakti sebagai universitas telah menetapkan, ospek dilakukan pada tingkat fakultas dengan kepanitiaan gabungan antara dosen dan mahasiswa selama dua hari. Ketatapan ini dibuat berdasarkan keputusan Dirjen Dikti 38/Dikti/Kep/2000 yang menyatakan pengenalan Program studi dan Program Pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) diselenggarakan dalam rangka kegiatan akademik oleh pimpinan PT yang bersangkutan.
Keluhan dari orangtua akan tugas mahasiswa yang dibilang “macam-macam”, menurut Komang, masih dalam taraf wajar. Ia juga mengakui sulit untuk mengubah ospek dari acara lucu-lucuan menjadi acara yang bersifat akademis untuk adaptasi kuliah. “mungkin kalau gradual, baru bisa”, katanya.
Wakil Rektor III ini lebih sepakat jka ada penyesuaiasn bentuk ospek dengan situasi yang ada saat ini. “Ospek itu sendiri harus diakui adalah percepatan masa penyesuian mahasiswa”, katanya.
Hak itu dikatakan Adang Surahman yang menyatakan bentuk ideal ospek yang tengah dipertimbangkan ITB adalah bentuk outbond. Namun bentuk ini harus dikaji lagi, termasuk dari segi biaya dan pelaksanaan. Di ITB, berbagai ritual seperti lagu We Shall Overcome atau lagu Mentari menjadi sarana transfer nilai dari mahasiswa senior kepada yuniornya.
Sebagai proses masuk lingkungan kmpus yang khas, ospek memang bagai dua sisi pisau. Banyaknya ekses negatif membuat banyak juga pihak yang menginginkan ospek dihapus.
Namun, bagi banyak mahasiswa, ospek adalah masa yang manis dikenang, tetapi tidak ingin diulang. Kebanggaan seorang mahasiswa ITB yang duduk di KA Parahyangan Bandung-Jakarta dengan kepala botak, buku-buku jari yang luka-luka akibat push up, tercermin dari jaket tebal himpunan yang dibawanya ke Jakarta yang panas sekadar untuk dipamerkan. Jaket himpunan hasil pinjaman dari senior yang beberapa jam sebelumnya melakukan ospek adalah simbol inagurasi diterimanya seseorang dalam lingkup pergaulan di jurusannya.
Lepas dari apapun alasannya ataupun pembenarannya, mungkin mahasiswa bisa membuktikan kedigdayaannya dengan membentuk tradisi ospek baru yang menerobos ke depan. (EDN).
Ketika mahasiswa menjadi pelaksana ospek, apa yang perlu kita perhatikan disini adalah untuk menempatkan pengkaderan masal (Ospek) dalam porsi yang sewajarnya. Kita perlu ingat bahwa selain ospek masih ada event pengembangan diri lain seperti Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa, Achievement Motivation Training atau yang lain. Ospek tidak perlu mengambil tujuan belajar yang terlalu muluk.
Membentuk mahasiswa profesional bermental pemimpin yang memiliki sikap kritis, kretif, inisiatif, proaktif, berpikiran luas, berintegritas pribadi yng dilandasi kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
Memang tujuan yang bagus, tapi tidakkah itu berlebihan? Bahkan Training atau workshop pengembangan diri profesional saja berhati-hati dalam membuat ukuran sukses para lulusannya. Sekadar maksud baik saja belum cukup, kita juga perlu realistis dan miliki kompetensi yang cukup untuk mewujudkan maksud baik itu.
Dalam kaitan solusi jalan keluar, sudah saatnya ditinggalkan cara berpikir post factum. Sudah saatnya dikembangkan cara berpikr proaktif soal ospek. Sesuai jatidiri praksis pendidikan, sudah saatnya ospek dengan ekses-ekse kekerasannya ditinggalkan.
Solusi yang kami tawarkan untuk mengganti ospek, yaitu pemberian informasi mengenai lingkungan kampus dan sekitarnya dapat dilakukan dalam satu mata kuliah umum dalam beberapa kali pertemuan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan dalam kelompok yang dipandu dan difasilitataor oleh mahasiswa yang lebih senior. Dinamika kelompok kecil akan lebih terasa dibandingkan kelompok besar, sehingga keakraban antar mahasiswa dalam kelompok maupun antar kelompok pun akan terjalin dengan baik.
Penanaman nilai-nilai baru dan informasi baru sangat efektif dilakukan dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dalam rupa permainan-permainan ringan tanpa hukuman. Hadiah telah terbukti efektif dalam membentuk dan mempertahankan suatu perilaku baru.
Sistem kredit poin per materi dapat juga diberikan sebagai hadiah (rewards). Misalnya 1 poin untuk datang tepat waktu, 1 poin untuk kerapian, 1 poin untuk mengenal denah gedung kuliah. Jika mahasiswa tidak memenuhi standar poin tertentu, mahasiswa harus mengulang kegiatan tersebut di tahun depan ataupun pengurangan jumlah sks yang akan diambil.
Hal yang menyenangkan akan selalu diingat sebagai kenangan yang menyenangkan pula, dan tidak menimbulkan trauma.
Sesuai dengan namanya, apakah tujuan awal dari ospek adalah untuk membantu mahasiswa baru mengenal program studi dan kampusnya? Iya, memang. Tapi bukan itu yang jadi pertimbangan kenapa perpeloncoan menjadi bagian lekat darinya. Dalam maksud kami menawarkan alternatif atau modifikasi dari model ospek yang ada, kami merasa akan lebih adil kiranya untuk terlebih dahulu menilik baik-baik maksud dan logika pembentukan budaya perpeloncoan ini. Jangan hanya mencela tanpa berusaha memahami, karena dibalik aktivitas yang unik ini pasti ada motif baik yang bisa kita temukan. Tidak mungkin perploncoan bisa menjadi budaya bila bukan karena kemanfaatan positif yang bisa dihasilkan darinya.

http://blog.kenz.or.id (diakses tanggal 14 Februari 2009)

KALKULUS FOR MY LIVE

Kalkulus Untuk Hidupku
By hasj
Kalkulus merupakan sebuah cabang ilmu dari Matematika yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama bagi Fisika dan Teknik (Engineering). Dalam ilmu kalkulus materi yang dapat kita pelajari antara lain:
1. differensial
2. integral
3. integral dan diferensial terapan
4. dll.
Pada dasarnya ketika kita mempelajari Kalkulus maka yang terbesit dalam hati atau terpikirkan oleh kita adalah angka-angka yang menjelma menjadi sebuah momok menyeramkan bagi kita dan tak jarang pula terpikirkan oleh kita bahwa untuk apakah kita mempelajari kalkulus? Oleh karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan sedikit tentang guna kalkulus bagi kehidupan sehingga kita dapat melihat kalkulus sebagai suatu yang menyenangkan dan dapat membimbing kita.
Baiklah pada kali inii akan kita bahas kegunaan kalkulus dalam empat bidang yaitu :
a. Bidang Agama
b. Bidang Pendidikan
c. Bidang Sosial
d. Bidang Politik
A. Bidang Agama
Memang Kalkulus identik dengan angka karena setiap materi kalkulus tak akan lepas dari angka. Namun jika kita pikirkan lagi dan mengintegrasi-interkoneksikan antara kalkulus dengan kehidupan kita maka kita akan akan mendapatkan banyak hal yang sangat berharga bagi diri kita untuk menjalani hidup ini.
1. Mempelajari Kalkulus ( khususnya terntang penerapan kalkulus dalam menghitung volume benda ) dapat memberikan pemahaman kepada kitra tentang konsep menentukan pilihan dalam menjalani kehidupan ataupun kebimbangan pada saat memutuskan suatu hal ( perkara ). Sebagai contoh adalah ketika kita mempelajari atau mengerjakan soal tentang volume menggunakan penghitungan “integral” baik yang diputar mengelilingi sumbu x ataupun sumbu y, kita dapat menghitungnya menggunakan beberapa cara yang ada seperti cakram, cincin ataupun kulit tabung. Seperti contoh soal di bawah ini :
Hituglah volume sebuah benda yang terbentuk apabila daerah R yang dibatasi kurva x=y¬¬¬2 , y=2, x=0; dan di putar mengelilingi garis y=2!
Soal di atas dapat kita kerjakan menggunakan Metode Kulit Tabung ataupun menggunakan Metode Cincin.
Sehingga dari contoh di atas kita dapat mengambil sebuah nilai filosofi atau secara tidak langsung contoh di atas dapat ,memberikan kita suatu pemahaman bahwa dalam berbuat kebaikan itu penuh pilihan karena kebaikan itu bukan hanya satu hal.
177. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
2. Namun dalam mengerjakan soal di atas kita tidak serta diberikan berbagai pilihan Metode untuk menyelesaikannya tapi juga harus sangat-sangat teliti dalam menentukan Metode yang akan digunakan. Jangan karena kita suka pada satu Metode misalkan Metode Cincin maka kita mengerjakan suatu soal dengan Metode Cincin walupun soal itu lebih mudah di kerjakan menggunakan Metode Kulit Tabung misalnya. Penentuan ini sangatlah penting karena ketika kita salah dalam menentukan Metode yang digunakan maka kita akan kesulitan sendiri dalam menghitungnya ini sama dengan halnya dalam memutuskan suatu hal kita harus berhati-hati dan bersikap adil janganlah pilih kasih.sehingga kita dapat mengambil nilai filosofi lain yaitu bahwa harus berhati-hati dalam memutuskansuatu hal dan bersikaplah adil serta bijaksana dalam memutuskan.
135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[361] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
B. Bidang Pendidikan
Meningkatkan minat baca
Percayakah anda bahwa mempelajari kalkulus dapat meningkatkan minat baca ? Jika anda tidak percaya, wah sayang banget tuh.Baiklah swedikit penjelasan tentang itu, ketika kita mempelajari kalkulus maka secara alamiah kita akan mengalami banyak kesulitan-kesulitan, nah beranngkat dari sinilah kalimat di atas muncul. Dengan kata lain bahwa kesulitan yang kita dapat akan memberikan makna tersendiri karena dengan itu semua maka rasa penasaran yang mendalam akan muncul. Oleh kareana itu ketika kita merasakan penasaran maka secara otomatis akan ada ussaha dari dalam diri kita untuk melakukan hal-hal yang dapt membantu menghilangkan rasa penasaran itu dan salah satunya adalah banyak membaca buku kalkulus, jadi kita akan membaca terus buku itu sampai kita mengerti dan dapat menghilangkan rasa penasaran. Sehingga kerana kebiasaan membaca buku itulah jadi akan tertanam dalam diri kita hobi membaca itu.
Lebih Dewasa
Penjelasan untuk yang satu ini hampir hampir sama dengan penjelasan dari segi keagamaan. Jadi ketika kita mempelajari kalkulus kita selalu dituntut untuk dapat mancari cara terbaik untuk mengerjakan soal, karena jika salah cara dalam mengerjkannya, mkaka akan banyak kesulitanm yang menghampiri kita. Sehingga berangkat dari hal itulah secara tidak langsung mempelajari kalkulus dapat membuat kita loebih dewasaa untuk memandang kerhidupan karena jika kita salah jalan maka kita akan rugi sendiri.
Meningkatkan gairah belajar
Dalam hal ini, sepertinya sudah sangttlah jelas bahwa mempelajari kalkulus dapat meningkatkan minta/gairah belajar pada diri seseorang. Sebagi penjelasan, ketika kita mempelajari kalkulus dan mendapatkan kesulitan yangsecara lamiah muncul, jika kita menyadarinya (sadar) maka akan timbul dalam hati kita suatu kata hati “ko saya ga bisa ya, padahal yang lain bisa”, sehingga dengan demikian akan muncul usaha yang kita lakukan untuk lebih baik dan yang pastikan dengan selalu belajar (mempelajarinya)
Meningkatkan kreatifitas dalam komunikasi
Dalam hal ini yang dimaksudkan meningkatkan kreatifitas dalam komunikasi adalah lebih kepada sang pendidik. Dalam memberikan materi yang diajarkan dalam kalkulus seorang pendidik dituntut untuk lebih kreatif lagi dalam menyampaikan materi yang akan disampaikan hal ini dikarenakan tingkat kesulitan kalkulus yang menurut rata-rata pelajar adalah cukup tinggi sehingga seorang pendidik dalam menyampaikan diharuskan untuk dapat membuat suasana lebih enjoy atau mengasyikan dan salah satu caranya adalah seorang pendidik diharuskan memiliki keaktifan dalam komunikasi atau singkatnya seorang pendidik harus labih kreatif dalam menyampaikan materi ajarnya.
C. Bidang Sosial
Salah satu manfaat mempelajari kalkulus dalam kehidupan sosial adalah mempererat silaturahmi antar individu. Di atas sudah dijelaskan bahwa ketika kita mempelajari kalkulus maka sudah secara alamiah kita akan banyak mengalami kesulitan, sehingga dari hal ini pula (dengan ketidaktahuan) maka kita akan selalu bertanya kepada teman yang lebih tahu daripada kita, sehingga akan terjalin suatu komunikasi antara kita dengan teman yang kita tanya tadi sebagai proses keakraban. Dari sini sudah jelas akan terjalin suatu hubungan yang akrab dan dapat mempererat silaturahmi antar individu tersebut . lalu manfat lain kalkulus dalam bidang social selain mempererat silahturahmi antar individu adalah dalam aplikasi lansung dalam masyarakat, misalkan penerapan dalam penghitungan warisan, zakat dan sebagainya.
D. Bidang Politik
Selain dari ke-3 bidang di atas, ternyata mempelajari kalkuluspun memberikan manfaat dalam bidang politik bagi yang mempelajarinya. Jika kita mendengar kata politik maka sudah tentu yang terbesit dalam hal yang kotor yang berbau siasat namun perlu kita pahami bahwa tak semuanya politik itu kotor. Untuk bidang politik yang akan kita ambil adalah manfaat kalkulus dalam merencanakan suatu siasat. Dengan mmpelajari kalkulus mka kita diajarkan untuk dapat mensiasati soal-soal yang sulit untuk dikerjakan agar menjadi lebih mudah dalam pengerjaannya dehingga kita harus malkukan segala cara untuk, bisa mensiasatinya. Sebagai contoh :
Tentukan. ∫( x2 – x ∕ x + 1) dx.
Untuk mengerjakan soal di atas kita dituntut untuk dapat mensiasati soal itu dengan mengubah soal itu menjadi lebih mudah . Soal di atas akan lebih mudah dikerjakan jika soal diubah menjadi :
∫ (x -2) dx + 2 ∫ (1 ∕ x + 1) dx.
Sehingga sudah jelas bahwa dalam soal itu kita dituntuk untuk menghalalkan segala cara agar soal . ∫( x2 – x ∕ x + 1) dx. berubah menjadi ∫ (x -2) dx + 2 ∫ (1 ∕ x + 1) dx. Jadi mmemang ada benarnya jika mempelajari kalkulus maka kitapun akan mendapatkan manfaatnya dalam bidang politik
Kalkulus adalah ilmu yang sangat berguna/ bermanfaat, dengan mempelajari kalkulus banyak manfaat selain mahir menghitung, lebih teliti yang akan kita dapatkan . Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah mulai saat ini kita mengubah perspektif kita terhadap kalkulus. Kita ubah pandangan kita yang menganggap kalkulus adalah pelajaran yang sulit dan hanya membuat kepala pusing dengan menganggap kalkulus adalah pelajaran yang mengasyikan dan menyenangkan. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan, manfaat lain selain mahir menghitung, lebih teliti dari mempelajari kalkulus antara lain: menambah pemahaman dalam menjalani hidup, lebih berhati-hati dalam memutuskan suatu hal (adil), meningkatkan minat baca, meningkatkan semangat belajar, jadi lebih dewasa, mempererat silaturahmi antar individu dan masih banyak lagi yang lainnya seperti:meningkatkan kesqabaran, istiqhamah. Oleh karena itu, kalkulus itu asyik jadi jangan anggap kalkulus itu seekor monster yang menyeramkan dan ganas.
“Kita pasti bisa jika kita berusaha untuk memahaminya”.
“Every Why has a wherefore”
firma Allah SWT dalm surat Al-Insyirah ayat 5:
5. Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Di akses dari : http://hasj.wordpress.com/2008/05/28/kalkulus-untuk-hidupku/